Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi konsumen menengah terbebani (pexels/ANTONI SHKRABA)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kini diterapkan sebesar 12% mungkin sudah biasa terdengar, tapi bagi sebagian orang, ini adalah kabar yang kurang menyenangkan. Khususnya bagi konsumen menengah, kelompok yang sering kali terjebak dalam posisi yang tidak cukup miskin untuk menerima subsidi, namun juga tidak cukup kaya untuk bebas dari dampak ekonomi. Apakah kenaikan PPN 12% ini akan berdampak telak bagi mereka? Mari kita ulas lebih dalam.

Bagi banyak orang, kelas menengah sering kali berada di antara dua dunia, tidak cukup rendah untuk mendapatkan bantuan pemerintah, namun juga tidak cukup tinggi untuk menikmati banyak keuntungan dari kebijakan ekonomi. Dengan kenaikan PPN menjadi 12%, mereka akan merasakan beban yang lebih berat karena hampir semua barang dan jasa yang mereka beli, mulai dari makanan hingga kebutuhan sehari-hari lainnya, akan dikenakan pajak tambahan. Mengingat daya beli yang semakin menipis, hal ini tentu saja mengurangi kualitas hidup mereka.

Kenaikan PPN bisa berpotensi meningkatkan inflasi, meskipun pemerintah berupaya mengimbangi subsidi kebijakan untuk beberapa sektor, seperti sembako atau kebutuhan dasar lainnya, banyak barang yang tidak masuk kategori tersebut. Artinya, konsumen menengah akan semakin kesulitan untuk menyeimbangkan pengeluaran mereka, yang sebagian besar telah dialokasikan untuk kebutuhan sehari-hari dan pendidikan. Bagi mereka, kenaikan pajak ini mungkin terasa seperti 'pukulan bertubi-tubi.'

Di sisi lain, pemerintah mengklaim bahwa kenaikan PPN ini diperlukan untuk mendukung pembiayaan pembangunan nasional, dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan negara untuk berbagai proyek besar. Namun, apakah konsumen menengah merasa kebermanfaatan itu sebanding dengan dampak langsung yang mereka rasakan? Banyak yang merasa kebijakan ini justru lebih memberi keuntungan bagi kalangan yang sudah cukup kaya dan membuat kelas menengah semakin stres, bahkan untuk kebutuhan dasar sekalipun.

Meskipun ada klaim bahwa kebijakan ini dapat memperbaiki infrastruktur dan memperkuat perekonomian jangka panjang, kenyataannya banyak orang dari kelas menengah yang merasa mereka harus terus berjuang dengan pengeluaran yang terus membengkak. Tanpa ada mekanisme yang lebih berpihak pada mereka, kenaikan PPN 12% bisa jadi terasa seperti pukulan bertubi-tubi yang membuat mereka semakin sulit bertahan. Saat itu terjadi, harapan mereka untuk mendapatkan kesejahteraan dalam jangka panjang menjadi semakin tipis.

Kebijakan ini mengingatkan kita bahwa perhitungan pajak tidak bisa hanya dilihat dari angka atau teori ekonomi saja. Dampaknya sangat nyata bagi kelas menengah yang berusaha bertahan, dan ketika pajak naik, hidup mereka menjadi semakin penuh dengan tantangan. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan rakyat yang berada di kelas menengah, yang jelas-jelas merasakan dampak berat dari kenaikan PPN 12%.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sherly Azizah